Kamis, 18 November 2010

Budaya Sulawesi

Sulawesi tenggara

Pariwisata di Sulawesi Tenggara merupakan salah satu sektor yang masih berpeluang untuk dikembangkan lebih baik lagi. Potensi wisata alam, wisata bahari, agrowisata, dan wisata budaya masih dapat dikembangkan lebih optimal dengan memanfaatkan kekayaan pemandangan alam di Propinsi Sulawesi Tenggara. Kondisi alam di Sultra bergunung-bukit, dan bergaris pantai yang panjang, dengan pulau-pulau serta tanaman lautnya yang tersebar di wilayah propinsi ini. Ditambah latar belakang sejarah dan keanekaragaman seni budaya serta tradisi setempat yang unik dan menarik, semuanya akan menarik para wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Persoalannya, diperlukan pembenahan dan pemikiran kreatif untuk mewujudkan harapan tersebut, terutama pembenahan sarana dan prasarana yang masih dirasakan minim, seperti transportasi, penginapan, penjualan souvenir, dan sebagainya.

Untuk memajukan potensi pariwisata di Sulawesi Tenggara, perlu digalang kerjasama dengan biro perjalanan dan jasa layanan lain, yang dapat memudahkan serta memacu perkembangan sektor pariwisata di propinsi ini.

Wisata budaya


Adanya berbagai warisan sejarah kepurbakalaan serta eksistensi sosial dan budaya yang unik dan khas ditengah masyarakat, merupakan kekayaan budaya yang memiliki nilai daya tarik tersendiri, sebagai penunjang bagi pengembangan sektor pariwisata.


Peninggalan budaya masa lalu memberikan karakteristik dan kekayaan nilai-nilai budaya yang hingga saat ini dapat dilihat pada pola/tradisi kehidupan masyarakat Wakatobi yang lebih dikenal sebagai masyarakat kepulauan dan pesisir. Sehingga budaya masyarakat yang dimiliki lebih bersifat budaya pesisir (marine antropologis). Eksisting budaya inilah yang memberikan fenomena unik bagi pengembangan pariwisata yang berbasis pada nilai-nilai budaya.

Sulawesi utara

Pariwisata merupakan salah satu sektor potensial yang dimiliki Sulawesi Utara sebagai salah satu sumber daya ekonominya. Potensi wisata di Sulut cukup beragam, di antaranya wisata alam, wisata bahari, dan wisata budaya. Keberadaan taman nasional, seperti Taman Nasional Laut Bunaken dan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, juga berpotensi sebagai salah satu aset wisata alam di Sulawesi Utara. Jumlah wisatawan mancanegara yang telah berkunjung ke Sulawesi Uta­ra, seperti wisatawan dari Jepang, Amerika, Belanda, Perancis, Inggris, Belgia, Kanada, Korsel, dan sebagainya berjumlah 25.226 orang, sedangkan wisatawan domestik berjumlah 432.999 orang. Banyak daerah wisata alam di Propinsi Sulawesi Utara yang indah panoramanya.

Letak dan posisi geografis Sulawesi Utara, sebagai wilayah paling utara negara kita dan langsung berbatasan dengan Lautan Pasifik, memiliki potensi yang besar sebagai pintu gerbang keluar-masuknya kegiatan ekonomi regional dan global. Dengan demikian, wila­yah ini mempunyai peluang yang cukup besar untuk mengembangkan kerjasama internasional, khususnya perdagangan dengan negara tetangga yang secara geo­grafis berdekatan, seperti Filipina, dan Malaysia. Jika semuanya itu dapat dilihat secara jeli dan dimanfaatkan, daerah ini akan dapat menggalang kerjasama per­dagangan regional dan internasional yang menguntungkan. Hal itu akan membuat wilayah Sulut men­jadi salah satu pusat ekonomi di Indonesia yang me­miliki prospek cerah. Itulah kelebihan daerah Sulawesi Utara.

Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 600.000 jiwa. Mereka juga menetap di sebagian dataran Luwu dan Sulawesi Barat.

Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidenreng dan dari Luwu. Orang Sidenreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja yang mengandung arti "Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan", sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah "orang yang berdiam di sebelah barat". Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.

Wilayah Tana Toraja juga digelar Tondok Lili'na Lapongan Bulan Tana Matari'allo arti harfiahnya adalah "Negri yang bulat seperti bulan dan matahari". Wilayah ini dihuni oleh satu etnis (Etnis Toraja).

Lumbung Padi Orang Toraja

Menurut mitos, leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana, mitos yang tetap melegenda turun temurun hingga kini secara lisan dikalangan masyarakat Toraja ini menceritakan bahwa nenek moyang masyarakat Toraja yang pertama menggunakan "tangga dari langit" untuk turun dari nirwana, yang kemudian berfungsi sebagai media komunikasi dengan Puang Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa - dalam bahasa Toraja).

Lain lagi versi dari DR. C. CYRUT seorang antropolog, dalam penelitiannya menuturkan bahwa masyarakat Tana Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk lokal yang mendiami daratan Sulawesi Selatan dengan pendatang yang notabene adalah imigran dari Teluk Tongkin (daratan Tiongkok). Proses akulturasi antara kedua masyarakat tersebut, berawal dari berlabuhnya Imigran Indochina dengan jumlah yang cukup banyak di sekitar hulu sungai yang diperkirakan lokasinya di daerah Enrekang, kemudian para imigran ini, membangun pemukimannya di daerah tersebut.

Aluk

Aluk adalah merupakan budaya/aturan hidup yang dibawa oleh kaum imigran dari dataran Indochina pada sekitar 3000 tahun sampai 500 tahun sebelum masehi.

Aluk Sanda Saratu

Tokoh penting dalam penyebaran aluk ini antara lain: Tomanurun Tamboro Langi' yang merupakan pembawa aluk Sanda Saratu yang mengikat penganutnya dalam daerah terbatas yakni wilayah Tallu Lembangna.

Aluk Sanda Pitunna

Wilayah barat

Tokoh penting dalam penyebaran aluk ini di wilayah barat Tana Toraja yaitu : Pongkapadang bersama Burake Tattiu' yang menyebarkan ke daerah Bonggakaradeng, sebagian Saluputti, Simbuang sampai pada Pitu Ulunna Salu Karua Ba'bana Minanga, dengan memperkenalkan kepada masyarakat setempat suatu pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja "to unnirui' suke pa'pa, to ungkandei kandian saratu yakni pranata sosial yang tidak mengenal strata.

Wilayah timur

Di wilayah timur Tana Toraja, Pasontik bersama Burake Tambolang menyebarkannya ke daerah Pitung Pananaian, Rantebua, Tangdu, Ranteballa, Ta'bi, Tabang, Maindo sampai ke Luwu Selatan dan Utara dengan memperkenalkan pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja : "To Unnirui' suke dibonga, To unkandei kandean pindan", yaitu pranata sosial yang menyusun tata kehidupan masyarakat dalam tiga strata sosial.

Wilayah tengah

Tangdilino bersama Burake Tangngana menyebarkan aluk ke wilayah tengah Tana Toraja dengan membawa pranata sosial "To unniru'i suke dibonga, To ungkande kandean pindan".

Kesatuan adat

Seluruh Tondok Lepongan Bulan Tana Matari' Allo ( wilayah Tana Toraja) diikat oleh salah satu aturan yang dikenal dengan nama Tondok Lepongan Bulan Tana Matari' Allo yang secara harafiahnya berarti "Negri yang bulat seperti bulan dan Matahari". Nama ini mempunyai latar belakang yang bermakna, persekutuan negeri sebagai satu kesatuan yang bulat dari berbagai daerah adat. Ini dikarenakan Tana Toraja tidak pernah diperintah oleh seorang penguasa tunggal, tetapi wilayah daerahnya terdiri dari kelompok adat yang diperintah oleh masing-masing pemangku adat dan ada sekitar 32 pemangku adat di Toraja.

Karena perserikatan dan kesatuan kelompok adat tersebut, maka diberilah nama perserikatan bundar atau bulat yang terikat dalam satu pandangan hidup dan keyakinan sebagai pengikat seluruh daerah dan kelompok adat tersebut.

Upacara adat

Di wilayah Kabupaten Tana Toraja terdapat dua upacara adat yang amat terkenal , yaitu upacara adat Rambu Solo' (upacara untuk pemakaman) dengan acara Sapu Randanan, dan Tombi Saratu', serta Ma'nene', dan upacara adat Rambu Tuka. Upacara-upacara adat tersebut di atas baik Rambu Tuka' maupun Rambu Solo' diikuti oleh seni tari dan seni musik khas Toraja yang bermacam-macam ragamnya.

Rambu Solo

Adalah sebuah upacara pemakaman secara adat yang mewajibkan keluarga yang almarhum membuat sebuah pesta sebagai tanda penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi.Tingkatan upacara Rambu Solo

Upacara Rambu Solo terbagi dalam beberapa tingkatan yang mengacu pada strata sosial masyarakat Toraja, yakni:

  • Dipasang Bongi: Upacara pemakaman yang hanya dilaksanakan dalam satu malam saja.
  • Dipatallung Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama tiga malam dan dilaksanakan dirumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan.
  • Dipalimang Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama lima malam dan dilaksanakan disekitar rumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan.
  • Dipapitung Bongi:Upacara pemakaman yang berlangsung selama tujuh malam yang pada setiap harinya dilakukan pemotongan hewan.

Upacara tertinggi

Biasanya upacara tertinggi dilaksanakan dua kali dengan rentang waktu sekurang kurangnya setahun, upacara yang pertama disebut Aluk Pia biasanya dalam pelaksanaannya bertempat disekitar Tongkonan keluarga yang berduka, sedangkan Upacara kedua yakni upacara Rante biasanya dilaksanakan disebuah lapangan khusus karena upacara yang menjadi puncak dari prosesi pemakaman ini biasanya ditemui berbagai ritual adat yang harus dijalani, seperti : Ma'tundan, Ma'balun (membungkus jenazah), Ma'roto (membubuhkan ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah), Ma'Parokko Alang (menurunkan jenazah kelumbung untuk disemayamkan), dan yang terkahir Ma'Palao (yakni mengusung jenazah ketempat peristirahatan yang terakhir).

Berbagai kegiatan budaya yang menarik dipertontonkan pula dalam upacara ini, antara lain :

  • Ma'pasilaga tedong (Adu kerbau), kerbau yang diadu adalah kerbau khas Tana Toraja yang memiliki ciri khas yaitu memiliki tanduk bengkok kebawah ataupun [balukku', sokko] yang berkulit belang (tedang bonga), tedong bonga di Toraja sangat bernilai tinggi harganya sampai ratusan juta; Sisemba' (Adu kaki)
  • Tari tarian yang berkaitan dengan ritus rambu solo' seperti : Pa'Badong, Pa'Dondi, Pa'Randing, Pa'Katia, Pa'papanggan, Passailo dan Pa'pasilaga Tedong; Selanjutnya untuk seni musiknya: Pa'pompang, Pa'dali-dali dan Unnosong.;
  • Ma'tinggoro tedong (Pemotongan kerbau dengan ciri khas masyarkat Toraja, yaitu dengan menebas kerbau dengan parang dan hanya dengan sekali tebas), biasanya kerbau yang akan disembelih ditambatkan pada sebuah batu yang diberi nama Simbuang Batu.

Kerbau Tedong Bonga adalah termasuk kelompok kerbau lumpur (Bubalus bubalis) merupakan endemik spesies yang hanya terdapat di Tana Toraja. Ke-sulitan pembiakan dan kecenderungan untuk dipotong sebanyak-banyaknya pada upacara adat membuat plasma nutfah (sumber daya genetika) asli itu terancam kelestariannya.

Menjelang usainya Upacara Rambu Solo', keluarga mendiang diwajibkan mengucapkan syukur pada Sang Pencipta yang sekaligus menandakan selesainya upacara pemakaman Rambu Solo'.

Tarian Manganda' pada upacara Ma'Bua'

Upacara adat Rambu Tuka' adalah acara yang berhungan dengan acara syukuran misalnya acara pernikahan, syukuran panen dan peresmian rumah adat/tongkonan yang baru, atau yang selesai direnovasi; menghadirkan semua rumpun keluarga, dari acara ini membuat ikatan kekeluargaan di Tana Toraja sangat kuat semua Upacara tersebut dikenal dengan nama Ma'Bua', Meroek, atau Mangrara Banua Sura'.

Untuk upacara adat Rambu Tuka' diikuti oleh seni tari : Pa' Gellu, Pa' Boneballa, Gellu Tungga', Ondo Samalele, Pa'Dao Bulan, Pa'Burake, Memanna, Maluya, Pa'Tirra', Panimbong dan lain-lain. Untuk seni musik yaitu Pa'pompang, pa'Barrung, Pa'pelle'. Musik dan seni tari yang ditampilkan pada upacara Rambu Solo' tidak boleh (tabu) ditampilkan pada upacara Rambu Tuka'.

Nilai Tradisi Vs Keagamaan

DALAM kepercayaan asli masyarakat Tana Toraja yang disebut Aluk Todolo, kesadaran bahwa manusia hidup di Bumi ini hanya untuk sementara, begitu kuat. Prinsipnya, selama tidak ada orang yang bisa menahan Matahari terbenam di ufuk barat, kematian pun tak mungkin bisa ditunda.

Sesuai mitos yang hidup di kalangan pemeluk kepercayaan Aluk Todolo, seseorang yang telah meninggal dunia pada akhirnya akan menuju ke suatu tempat yang disebut puyo; dunia arwah, tempat berkumpulnya semua roh. Letaknya di bagian selatan tempat tinggal manusia. Hanya saja tidak setiap arwah atau roh orang yang meninggal itu dengan sendirinya bisa langsung masuk ke puyo. Untuk sampai ke sana perlu didahului upacara penguburan sesuai status sosial semasa ia hidup. Jika tidak diupacarakan atau upacara yang dilangsungkan tidak sempurna sesuai aluk (baca: ajaran dan tata cara peribadatan), yang bersangkutan tidak dapat mencapai puyo. Jiwanya akan tersesat.

"Agar jiwa orang yang ’bepergian’ itu tidak tersesat, tetapi sampai ke tujuan, upacara yang dilakukan harus sesuai aluk dan mengingat pamali. Ini yang disebut sangka’ atau darma, yakni mengikuti aturan yang sebenarnya. Kalau ada yang salah atau biasa dikatakan salah aluk (tomma’ liong-liong), jiwa orang yang ’bepergian’ itu akan tersendat menuju siruga (surga)," kata Tato’ Denna’, salah satu tokoh adat setempat, yang dalam stratifikasi penganut kepercayaan Aluk Todolo mendapat sebutan Ne’ Sando.

Selama orang yang meninggal dunia itu belum diupacarakan, ia akan menjadi arwah dalam wujud setengah dewa. Roh yang merupakan penjelmaan dari jiwa manusia yang telah meninggal dunia ini mereka sebut tomebali puang. Sambil menunggu korban persembahan untuknya dari keluarga dan kerabatnya lewat upacara pemakaman, arwah tadi dipercaya tetap akan memperhatikan dari dekat kehidupan keturunannya.

Oleh karena itu, upacara kematian menjadi penting dan semua aluk yang berkaitan dengan kematian sedapat mungkin harus dijalankan sesuai ketentuan. Sebelum menetapkan kapan dan di mana jenazah dimakamkan, pihak keluarga harus berkumpul semua, hewan korban pun harus disiapkan sesuai ketentuan. Pelaksanaannya pun harus dilangsungkan sebaik mungkin agar kegiatan tersebut dapat diterima sebagai upacara persembahan bagi tomebali puang mereka agar bisa mencapai puyo alias surga

Jika ada bagian-bagian yang dilanggar, katakanlah bila yang meninggal dunia itu dari kaum bangsawan namun diupacarakan tidak sesuai dengan tingkatannya, yang bersangkutan dipercaya tidak akan sampai ke puyo. Rohnya akan tersesat. Sementara bagi yang diupacarakan sesuai aluk dan berhasil mencapai puyo, dikatakan pula bahwa keberadaannya di sana juga sangat ditentukan oleh kualitas upacara pemakamannya. Dengan kata lain, semakin sempurna upacara pemakaman seseorang, maka semakin sempurnalah hidupnya di dunia keabadian yang mereka sebut puyo tadi.

To na indanriki’ lino

To na pake sangattu’

Kunbai lau’ ri puyo

Pa’ Tondokkan marendeng

Kita ini hanyalah pinjaman dunia yang dipakai untuk sesaat. Sebab, di puyo-lah negeri kita yang kekal. Di sana pula akhir dari perjalanan hidup yang sesungguhnya.

Bisa dimaklumi bila dalam setiap upacara kematian di Tana Toraja pihak keluarga dan kerabat almarhum berusaha untuk memberikan yang terbaik. Caranya adalah dengan membekali jiwa yang akan bepergian itu dengan pemotongan hewan-biasanya berupa kerbau dan babi-sebanyak mungkin. Para penganut kepercayaan Aluk Todolo percaya bahwa roh binatang yang ikut dikorbankan dalam upacara kematian tersebut akan mengikuti arwah orang yang meninggal dunia tadi menuju ke puyo.

Kepercayaan pada Aluk Todolo pada hakikatnya berintikan pada dua hal, yaitu padangan terhadap kosmos dan kesetiaan pada leluhur. Masing-masing memiliki fungsi dan pengaturannya dalam kehidupan bermasyarakat. Jika terjadi kesalahan dalam pelaksanaannya, sebutlah seperti dalam hal "mengurus dan merawat" arwah para leluhur, bencana pun tak dapat dihindari.

Berbagai bentuk tradisi yang dilakukan secara turun-temurun oleh para penganut kepercayaan Aluk Todolo-termasuk ritus upacara kematian adat Tana Toraja yang sangat dikenal luas itu-kini pun masih bisa disaksikan. Meski terjadi perubahan di sana-sini, kebiasaan itu kini tak hanya dijalankan oleh para pemeluk Aluk Todolo, masyarakat Tana Toraja yang sudah beragama Kristen dan Katolik pun umumnya masih melaksanakannya. Bahkan, dalam tradisi penyimpanan mayat dan upacara kematian, terjadi semacam "penambahan" dari yang semula lebih sederhana menjadi kompleks dan terkadang berlebihan.

Sebagai contoh, ajaran Aluk Todolo menghendaki agar orang yang meninggal dunia harus segera diupacarakan dan secepatnya dikuburkan. Maksud dari ajaran ini, seperti dikutip oleh M Ghozali Badrie dalam penelitiannya tentang "Penyimpanan Mayat di Tana Toraja", supaya keluarga yang ditinggalkan dapat melaksanakan upacara-upacara lain yang bersifat kegembiraan. Sebab, adalah pamali atau melanggar ketentuan aluk bila upacara kegembiraan (rambu tuka’) dilaksanakan bila ada orang mati (to mate). Untuk mengatasi hal yang berlawanan ini, masyarakat Tana Toraja lalu mengatakan, mayat tersebut belum mati, tetapi dianggap sebagai orang yang masih sakit (to makula). Dengan begitu, mereka yang ingin melaksanakan upacara rambu tuka’ tidak terhalang hanya karena ada mayat di kampung tersebut.

Pemakaman

Peti mati yang digunakan dalam pemakaman dipahat menyerupai hewan (Erong). Adat masyarakat Toraja adalah menyimpan jenazah pada tebing/liang gua, atau dibuatkan sebuah rumah (Pa'tane).

Beberapa kawasan pemakaman yang saat ini telah menjadi obyek wisata, seperti di :

  • Londa, yang merupakan suatu pemakaman purbakala yang berada dalam sebuah gua, dapat dijumpai puluhan erong yang berderet dalam bebatuan yang telah dilubangi, tengkorak berserak di sisi batu menandakan petinya telah rusak akibat di makan usia. Londa terletak di desa Sandan Uai Kecamatan Sanggalai' dengan jarak 7 km dari kota Rantepao, arah ke Selatan, Gua-gua alam ini penuh dengan panorama yang menakjubkan 1000 meter jauh ke dalam, dapat dinikmati dengan petunjuk guide yang telah terlatih dan profesional.

tengkorak di bebatuan gua, Londa. Juli 2008

  • Lemo adalah salah satu kuburan leluhur Toraja, yang merupakan kuburan alam yang dipahat pada abad XVI atau setempat disebut dengan Liang Paa'. Jumlah liang batu kuno ada 75 buah dan tau-tau yang tegak berdiri sejumlah 40 buah sebagai lambang-lambang prestise, status, peran dan kedudukan para bangsawan di Desa Lemo. Diberi nama Lemo oleh karena model liang batu ini ada yang menyerupai jeruk bundar dan berbintik-bintik.
  • Tampang Allo yang merupakan sebuah kuburan goa alam yang terletak di Kelurahan Sangalla' dan berisikan puluhan Erong, puluhan Tau-tau dan ratusan tengkorak serta tulang belulang manusia. Pada sekitar abad XVI oleh penguasa Sangalla' dalam hal ini Sang Puang Manturino bersama istrinya Rangga Bualaan memilih goa Tampang Allo sebagai tempat pemakamannya kelak jika mereka meninggal dunia, sebagai perwujudan dari janji dan sumpah suami istri yakni "sehidup semati satu kubur kita berdua". Goa Tampang Alllo berjarak 19 km dari Rantepao dan 12 km dari Makale.
  • Liang Tondon lokasi tempat pemakaman para Ningrat atau para bangsawan di wilayah Balusu disemayamkan yang terdiri dari 12 liang.
  • To'Doyan adalah pohon besar yang digunakan sebagai makam bayi (anak yang belum tumbuh giginya). Pohon ini secara alamiah memberi akar-akar tunggang yang secara teratur tumbuh membentuk rongga-rongga. Rongga inilah yang digunakan sebagai tempat menyimpan mayat bayi.
  • Patane Pong Massangka (kuburan dari kayu berbentuk rumah Toraja) yang dibangun pada tahun 1930 untuk seorang janda bernama Palindatu yang meninggal dunia pada tahun 1920 dan diupacarakan secara adat Toraja tertinggi yang disebut Rapasan Sapu Randanan. Pong Massangka diberi gelar Ne'Babu' disemayamkan dalam Patane ini. tau-taunya yang terbuat dari batu yang dipahat . Jaraknya 9 km dari Rantepao arah utara.
  • Ta'pan Langkan yang berarti istana burung elang. Dalam abad XVII Ta'pan Langkan digunakan sebagai makam oleh 5 rumpun suku Toraja antara lain Pasang dan Belolangi'. Makam purbakala ini terletak di desa Rinding Batu dan memiliki sekian banyak tau-tau sebagai lambang prestise dan kejayaan masa lalu para bangsawan Toraja di Desa Rinding Batut. Dalam adat masyarakat Toraja, setiap rumpun mempunyai dua jenis tongkonan tang merambu untuk manusia yang telah meninggal. Ta'pan Langkan termasuk kategori tongkonan tang merambu yang jaraknya 1,5 km dari poros jalan Makale-Rantepao dan juga dilengkapi dengan panorama alam yang mempesona.
  • Sipore' yang artinya "bertemu" adalah salah satu tempat pekuburan yang merupakan situs purbakala, dimana masyarakat membuat liang kubur dengan cara digantung pada tebing atau batu cadas. Lokasinya 2 km dari poros jalan Makale-Rantepao.

Tempat upacara pemakaman adat

"Rante"

Rante yaitu tempat upacara pemakaman secara adat yang dilengkapi dengan 100 buah menhir/megalit yang dalam Bahasa toraja disebut Simbuang Batu. 102 bilah batu menhir yang berdiri dengan megah terdiri dari 24 buah ukuran besar, 24 buah ukuran sedang dan 54 buah ukuran kecil. Ukuran menhir ini mempunyai nilai adat yang sama, perbedaan tersebut hanyalah faktor perbedaan situasi dan kondisi pada saat pembuatan/pengambilan batu.

Megalit/Simbuang Batu hanya diadakan bila pemuka masyarakat yang meninggal dunia dan upacaranya diadakan dalam tingkat Rapasan Sapurandanan (kerbau yang dipotong sekurang-kurangnya 24 ekor).

Tau-tau

Tau-tau adalah patung yang menggambarkan almarhum. Pada pemakaman golongan bangsawan atau penguasa/pemimpin masyarakat salah satu unsur Rapasan (pelengkap upacara acara adat), ialah pembuatann Tau-tau. Tau-tau dibuat dari kayu nangka yang kuat dan pada saat penebangannya dilakukan secara adat. Mata dari Tau-tau terbuat dari tulang dan tanduk kerbau. Pada zaman dahulu kala, Tau-tau dipahat tidak persis menggambarkan roman muka almarhum namun akhir-akhir ini keahlian pengrajin pahat semakin berkembang hingga mampu membuat persis roman muka almarhum.

Sulawesi barat

Sulawesi Barat adalah provinsi pengembangan provinsi Sulawesi Selatan. Provinsi yang dibentuk pada 5 Oktober 2004 ini berdasarkan UU No 26 Tahun 2004. Ibukotanya ialah Mamuju. Luas wilayah sekitar 16,796.19 km². dan terdiri dari Suku Mandar (49,15%); Toraja (13,95%); Bugis (10,79%); Jawa (5,38%); Makassar (1,59%) dan lainnya (19,15%).

Sulawesi Barat dikenal sebagai lokasi wisata. Selain kakao, daerah ini juga penghasil kopi robusta ataupun kopi arabika, kelapa, dan cengkeh. Di sektor pertambangan terdapat kandungan emas, batubara, dan minyak bumi.

Sulawesi tengah

Pariwisata di Sulteng merupakan sektor yang masih dapat dikembangkan lebih baik. Daerah ini memiliki potensi wisata yang beragam, baik wisata alam, wisata bahari, agrowisata, maupun wisata budaya.

Obyek wisata yang punya peluang untuk dikembangkan lebih maju antara lain obyek pemandangan alam dengan setting pegunungan, hutan primer/hutan wisata, taman nasional, batuan megalitik, tempat-tempat yang memiliki latar belakang sejarah, serta keaneka-ragaman tradisi, seni, dan budaya lokal yang unik dan menarik.

Semua obyek wisata alam di Sulteng, baik yang berlokasi di gunung, hutan, maupun laut, relatif masih perawan dan indah sekali. Tentu saja semua itu harus ditunjang dengan tersedia dan terselenggaranya atraksi hiburan, makanan, dan transportasi yang memadai, baik bagi turis domestik, maupun wisatawan mancanegara. Hal yang disebutkan terakhir itu belum digarap secara padu oleh perusahaan jasa industri pariwisata di Sulsel.

Berkaitan dengan itu, dapat diketahui bahwa jumlah hotel di Sulteng pada 1998 ada 166 buah (hotel berbintang dan melati); dengan kapasitas kamar 2.143 kamar dan 3.871 tempat tidur. Jumlah wisatawan asing dan domestik tidak diperlihatkan oleh data yang ada.

Sulawesi tengah

Pariwisata, yang merupakan salah satu sektor potensial bagi penerimaan PAD di Sulsel, ternyata sangat mungkin dikembangkan lebih optimal lagi. Daerah Sulsel mempunyai obyek pariwisata yang beragam, baik wisata alam dengan kondisi alamnya yang bergunung-gunung berikut bentuk pantainya yang memanjang, wisata bahari, agrowisata, maupun wisata budaya, termasuk wisata sejarah yang banyak dimiliki oleh daerah ini, seperti di Tana Toraja dan Polewali Mamasa. Semuanya itu menambah keanekaragaman kekayaan obyek wisata di daerah Sulawesi Selatan ini.

Tetapi, potensi itu hanya dapat berkembang jika digarap secara lebih profesional, sehingga memiliki daya tarik yang besar baik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. Untuk meningkatkan pembangunan pariwisata di Sulsel, perlu dibangun sarana dan prasarana seperti jalan raya, transportasi (darat, laut, udara); dan hotel, yang dapat mendorong pe¬ningkatan kemajuan di bidang pariwisata di daerah ini. Jika sarana dan prasarana yang baik itu sudah da¬pat disediakan, tidak tertutup kemungkinan bahwa para investor asing dan domestik akan berminat untuk menanamkan modalnya di sektor pariwisata dan hiburan ini. Ini artinya, potensi sektor pariwisata yang ada di Sulawesi Selatan akan berkembang secara lebih optimal.

Propinsi Sulawesi Selatan mempunyai peluang yang sangat menjanjikan untuk memperluas jaringan perdagangan dengan propinsi lain, termasuk memper¬luas jaringan ekspor dengan luar negeri, mengingat kemajuan iptek, khususnya teknologi bidang informatika dan telekomunikasi, yang sangat pesat. Selain itu, letak geografis Sulsel sangat strategis, yakni di persimpangan jalur transportasi laut internasional. Tetapi, semuanya itu kembali pada SDM dan investasi modal yang ada di daerah ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar